Lima Tahun setelah Kau Pergi 2
Suara ponsel di saku jaketku menjerit- jerit tidak berhenti. Yuni memanggilku dengan tak sabar. Enggan kubuka layar gawai, Yuni sudah melakukan sepuluh kali panggilan. Wanita manja itu seolah tak semenitpun mampu berdiri sendiri, bahkan hanya untuk urusan menjaga anak.
Aku menutup layar ponsel.Menyimpannya kembali di saku baju, entah mengapa kali ini hatiku tidak tergerak untuk bergegas menjawab atau hanya sekedar menulis pesan pada Yuni. Ada rasa tak kumengerti saat membayangkan wajah cantik dan glowing istri mudaku. Rasa hambar yang tiba- tiba saja mampir dan singgah di sudut hati berganti rasa rindu yang luar biasa untuk wanita yang baru saja menghilang di balik senja.
Aku meringis. Mengutuk nyaliku yang tidak mampu mengejar Alifia dan anak- anakku pergi. Ada rasa takut luar biasa yang menguasai jiwa, bagaimana rasanya berdiri di hadapan tiga buah hati yang bertahun hilang mengiringi kepergian ibu mereka dalam derai air mata? Sungguh aku tidak punya keberanian, menyadari sekian puluh purnama, aku hanya seonggok pria bergelar ayah yang tidak berharga.
Hatiku berdenyut sakit. Rasa yang seharusnya hadir sejak awal kepergian Alifia, seandainya aku memang pria waras. Naluri yang seharusnya sejak lama hadir, bukankah bersama dia ada anak yang tidak berdosa? Tololnya aku. Hati kecilku mengutuk.
Aku menyeka sudut mata yang kembali basah membayangkan wajah sendu Alifia dan kurusnya tubuh anak- anakku membuat lutut rasanya lunglai. Ayah macam apa aku? Bahkan Allah memberiku pertemuan tanpa aku minta. Allah mendekatkan jarak antara aku dan masa lalu agar aku sadar, bahwa sebenci apapun aku pada Alifia, bersamanya ada nyawa- nyawa tidak berdosa. Aku menggigil.
Dipta, lima tahun engkau menghapus nama Alifia dalam hatimu. Lima tahun kau bahkan tidak pernah mencari tahu pakta dibalik bukti yang disodorkan kakak dan istri barumu. Lima tahun, kau bahkan hanya seonggok raga yang tanpa makna dibalik senyuman Yuni yang membius kalbu. Yuni, perempuan kedua yang hadir setelah Alifia, wanita yang hari- harinya membuatku hanya sibuk dengan segala macam tuntutan dan keinginannya. Yuni yang membuat hari- hariku kadang terasa lelah. Bagi Yuni gengsi dan gaya hidup adalah segalanya, dan semua itu kini rasanya memuakkan.
Terbayang, Pino dan Yuna, dua anakku yang kubesarkan dengan segala gelimang kemewahan sangat berbanding seribu derajat dengan anak- anakku dari Alifia yang bahkan aku tadi melihat sendal jepit Afgan sudah begitu tipis, bahkan Raizan berjalan tanpa alas kaki. Gusti Allah. Tak terasa air mataku lagi- lagi rubuh, seiring sinar senja yang kian memudar.
***
Hari sudah beranjak gelap saat aku memarkirkan mobilku di halaman kafe tempat Yuni dan anak- anak berada.
"Dari mana saja sih, Pa?" Seperti dugaanku, Yuni merengut begitu rupa. Melirik jam mahal di pergelangan tangannya yang putih mulus.
Anak- anak sudah selesai bermain dan kini tengah asyik menikmati semangkuk ramen tanpa level dan dua gelas minuman dingin kesukaan mereka. Yuna dan Pino belum kuat makan pedas. Berkali- kali minta aku menyeka keringat yang membanjiri kening mereka. Apalagi Yuna, gadis dua tahun setengah itu nampak sampai ingus pun meler gara- gara makanan di depannya. Yuni memang gak ada ide sama sekali untuk mengganti makanan yang dipesan dengan menu yang lebih ramah buat anak- anak. Dan sialnya, Yuni tidak perduli kalau Yuna tampak kepedasan, akulah yang memberinya minum sampai melap hidung dan bibir mungilnya.
"Tadi aku pergi ke alun- alun sebentar, Ma," jawabku setelah selesai menenangkan Yuna, apa adanya.
"Ngapain?" Yuni mendelik.
"Aku merokok di sana. Lagian gak lama juga, aku lihat anak- anak pun masih senang bermain." Untuk pertama kali sejak menikah aku membela diri. Kulihat paras Yuni membesi. Makin hari Yuni, makin terasa menyebalkan. Sikapnya egois dan mau menang sendiri.
"Bukan masalah anak- anak masih senang bermain, tapi aku capek jagain dan lihatin mereka bermain. Kamu gak mikir apa?"
Astaghfirullah. Aku atau dia yang gak mikir. Masak jagain anak satu jam saja kek habis kerja paksa tujuh hari tujuh malam?
"Aku atau kamu yang gak mikir, Yun? Selama ini, kamu sebagai seorang ibu, apa yang sudah kamu lakukan buat Pino dan Yuna?" Aku balik bertanya. Bayangan Alifia yang dengan lembut memeluk ketiga anak- anaknya begitu membekas.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Jelas aku sibuk. Lagian Pino dan Yuna punya pengasuh sendiri, ngapain repot- repot?" Yuni membantah dengan keras kepala. Melempar tissue bekas melap wajahnya yang super glowing ke sembarang tempat.
"Kehadiran pengasuh tidak bisa menggantikan peranmu. Harusnya kurangi kegiatan bersama gank sosialitamu. Aku pikir, lebih baik kau habiskan waktu bersama anak- anakmu."
"Hadeuh, Pa. Sejak kapan sih, kamu ngatur- ngatur hidupku? Aku mau pergi dan pulang kapanpun, kenapa harus repot. Terpenting aku bukan perempuan pez* na seperti Alifia. Munafik." Yuni mendengus kesal. Suaranya terdengar sangat runcing di telingaku.
"
Aku memang senang pergi bersama teman- temanku, tapi sekali lagi, aku jauh lebih mulia ketimbang mantan istrimu yang pelacuc....'
" Cukup, Yuni. Jaga ucapanmu." Nada suaraku meninggi.
" Kenapa aku harus menjaga ucapan? Toh paktanya, kalau mantan istrimu dulu itu pezina." Yuni terkekeh.
Aku mendelik. Tak menyangka Yuni tega berkata seperti itu, di tempat umum.
"Berhenti bicara tentang keburukan Alifia." Susah payah aku menekan volume suaraku, agar Pino dan Yuna yang duduk di meja lain, tidak mendengar pertengkaran kami.
"Kenapa, Pa? Kok, Kamu seolah ingin membela perempuan jalang itu?" Yuni tertawa sinis.
Aku mendengus. Seandainya ini bukan tempat umum. Aku ingin menggebrak meja. Dulu setiap Yuni mengatakan kalau Alifia pengkhianat dan pezina, darahku selalu mendidih. Jiwaku ikut terbakar oleh kobaran api yang dinyalakan Yuni. Namun kini, setelah aku menemukan Alifia di alun- alun senja tadi, setelah aku menyaksikan wajah teduh itu begitu lelah dan penuh luka, rasa murka dan benci itu hilang entah kemana. Menguap bersama gerimis rindu yang pelan hadir kembali membasahi jiwaku yang gersang.
Alifia mungkin tidak berusaha menjelaskan apapun, tapi dari raut wajahnya yang ikhlas dan lelah, dia seolah berkata bahwa dia tidak sehina yang dituduhkan.
Akal sehatku berkata, tak sulit bagi perempuan secantik Alifia menjual diri. Banyak pria akan berlutut pada keindahannya. Perempuan berwajah campuran itu sungguh mempesonya. Tapi bukankah Alifia tidak melakukannya? Wajah lusuh itu mengatakan kalau Alifia tidak memilih jalan nista buat meraih manisnya dunia. Ya Allah ...mungkinkah aku telah salah menghukum? Jiwaku kembali bergemuruh.
Yuni masih terus mengoceh panjang pendek. Dia sama sekali tidak perduli, kalau Yuna dan Pino tampak kebingungan dengan nada suara tengik ibu mereka.
"Iya kan, aku seribu kali lebih baik dari perempuan munafik itu. Aku lebih suci dan ..."
"Cukup, Yuni. Bicaramu penuh racun. Aku muak mendengar pernyataanmu tentang Alifia."
" Muak?" Yuni membelalak.
" Terus aku harus bilang perempuan itu wanita suci? Haha."
"Sekali lagi, cukup." Kali ini kesabaranku habis. Menggebrak meja, membuat Yuni yang tengah menyedot minuman dinginnya tersedak dan terbeliak.
"Bunda, kenapa?" Yuna yang kaget dengan suara gebrakan mejaku tampak ketakutan.
" Tidak apa- apa, Sayang. Ayok kita pulang." Tanpa melirik Yuni yang sedang melap baju mahalnya dengan wajah gusar, aku langsung menggendong putriku dan abangnya masuk ke dalam mobil.
" Hai, tunggu. Aduh, bulu mata palsuku lepas satu." Yuni tampak kerepotan mengejarku.
Suara pintu mobil yang berdebum karena dibanting Yuni mengisyaratkan kalau perempuan ini sedang emosi.
"Tumben, sejak kapan kau menolak kenyataan kalau Alifia memang perempuan jalang dan rendahan?"
"Tutup mulutmu, atau turun sekarang juga," bentakku hilang akal. Sepanjang jalan, mulut Yuni tak henti- hentinya mengoceh, membuat udara malam kota Garut tak mampu lagi mendinginkan kepalaku.
"Kamu?" Yuni mendelik. Ada rasa tidak terima dengan nada suaraku yang membentak. Perempuan manja ini terbiasa kuperlakukan seperti ratu.
" Sekali lagi, kamu berhenti ngoceh atau turun di sini !"
"Aduh." Aku meringis. Tak menduga melihat darah yang tiba- tiba membasahi tanganku yang memegang setir.
" Yuni. Ka- kamu sudah gila, ya?" Mataku terbelalak menatap bekas cakaran Yuni.
Angin dingin menampar wajahku dengan keras. Meski murka aku diam dan tidak membalas. Yuna dan Pino tampak melongo melihat aksi ibunya. Kalau aku membalas, aku takut dua anakku akan semakin bingung dan ketakutan.
Aku membelokkan mobil menuju hotel tempat menginap dari kemarin. Kulirik Yuni yang terus mendumel kesal dengan perasaan sebal.
Aku tidak menduga setelah lima tahun kepergian Alifia, hidup bersama Yuni begitu memuakkan. Langit terasa pekat saat mobil sampai pelataran hotel. Enggan, aku mengikuti langkah Yuni dan anak- anak turun dari mobil.
Angin malam menampar wajahku yang terasa dingin, saat hati kecilku kembali memanggil sosok perempuan yang kutemui senja ini dalam luka.
Alifia ...masih pantaskah aku merindu?