Semalaman aku dan Yuni tidur saling membelakangi. Sebelum tidur bahkan tidak ada percakapan diantara aku dan Yuni. Istri mudaku itu tampak sangat kesal karena aku bantah. Ratu jadi- jadian itu sepertinya belum menyadari kalau aku dah mulai jengah dengan sikapnya.
Yuni juga belum sepenuhnya siuman kalau aku sudah tersadar dan mulai mencari kebenaran dibalik tuduhannya pada Alifia. Dia pikir lima tahun sudah cukup lama untuk menghapus segala kenanganku tentang Alifia. Aku pun berpikir sama, aku tidak akan pernah terkenang kembali dengan Alifia, jejaknya sudah hilang seperti goresan di atas pasir yang disapu ombak lautan.
Tapi Allah punya rencana, aku yang tidak pernah bermimpi apalagi berjuang menemukan Alifia, justru dipertemukan senja tadi. Aku pikir bunga cinta itu sudah sepenuhnya meranggas, tapi ternyata tidak. Dadaku masih berdebar saat dia menatapku. Tatapan yang sama, bertahun silam saat aku pertama berjumpa di silaturrahmi sahabat lama Mama. Tatapan terindah dari seorang wanita yang pernah kutemui.
Alifia cantik. Campuran darah sunda dan timur tengah itu memang membuat wajah lembutnya bukan hanya eksotis tapi juga menawan. Wajah cantik yang bukan hanya membius diriku di pandangan pertama, melainkan banyak pria selainku.
Akulah pria beruntung itu. Pria yang dipilih dan dicintai Alifia tanpa syarat. Pria yang dituliskan takdir untuk menjadi imamnya. Perempuan cantik, terpelajar dan berkecukupan. Aku memujanya di setiap desah nafasku. Aku mencintai Alifia sebesar dia mencintaiku. Sampai fitnah itu datang, membuat aku gelap mata dan mencampakkan nya dari ruang hatiku tanpa ampun dan Tabayyun.
Alifia memiliki standar kecantikan yang sempurna buat berpaling dariku. Meski sudah melahirkan tiga orang buah hati, tapi tubuhnya masih proporsional. Tidak menjadi gendut ataupun kurus kering, kecantikan wajahnya pun tidak memudar. Alifia masih memiliki pesona yang sama laksana Dewi dalam hikayat tentang para putri dan raja- raja.
Alifia tampak bersinar lebih terang di antara yang lain. Bahkan dua kakak Perempuanku yang terkenal cantik pun kalah pamor. Nindi dan Ayu ibarat bintang malam di kejauhan yang harus bersaing dengan rembulan kala purnama. Aku tidak begitu paham, mungkin Ayu dan Nindi merasa tersaingi. Karena dari awal kehadiran Alifia dua kakakku tidak pernah menyambutnya dengan tulus.
Aku membawa mobil dengan hati yang terus mengembara. Yuni yang merasa tidak mau menjaga Yuna dan Pino barang sekejap, meminta pengasuh anak- anak menyusul ke Garut. Subuh sekali, Mbok Darmi yang diantar Atang supir keluarga sudah datang. Aku yang terbangun agak siang mendapati Yuni sedang berbicara dengan Bi Darmi.
Aku geleng kepala. Liburan yang rencananya akan dinikmati bersama keluarga kecilku saja, berubah total. Kini ada Bi Darmi dan Atang yang akan melayani dan mengantar nyonya besar kemanapun dan di manapun. Dasar istri manja.
Yuni tidak begitu perduli dengan kehadiranku di kamar hotel tempat kami menginap. Subuh- subuh dia malah memboyong Yuna dan Pino ke kamar Bi Darmi, biar dia tidak harus membuatkan susu atau mengantar pipis anak- anak. Entahlah, aku yang biasanya selalu pengertian dengan sikap manja Yuni kali ini sungguh sebal. Aku keluar membawa mobil, kutinggalkan istri mudaku dengan segala gayanya yang tidak lucu.
Hanya butuh sepuluh menit kurang lebih untuk sampai kembali ke alun- alun dimana aku menemukan Alifia pertama kali. Aku ingin bertemu Alifia. Sungguh rindu itu tidak bisa kutepiskan lagi.
Meski ragu aku sudah menyiapkan amplop berisi uang agar jika aku bertemu Alifia, aku bisa memberikan nya. Uang dengan jumlah lumayan besar ini pasti berharga buat Alifia.
Angin segar dari pepohonan yang tumbuh besar dan rimbun di tepi selatan alun- alun tempat aku duduk kini terasa segar. Di sebelah barat tak jauh dari tempat aku duduk berdiri kokoh babancong sebuah bangunan mirip panggung kecil dan menjadi salah satu ikon kota Garut yang bersejarah dan gedung perkantoran Bupati. Mataku mengedar ke sebelah timur di mana tidak jauh dari tempat aku berada adalah pusat perbelanjaan yang cukup besar. Seharusnya anak- anakku dari Alifia sering ke sana. Mereka tinggal jalan kaki kalau dari tempatku berada.
Harusnya, hanya seharusnya. Kenyataan nya Alifia bahkan tidak mampu membelikan Afgan baju seragam yang baru. Bahkan hanya sebuah sandal layak pakai.
Nyut
Dadaku kembali berdenyut. Sadar lima tahun sudah, aku abai untuk mereka.
"Kopinya, Pak,?"
Dadaku rasanya hampir copot, saat mendengar suara Alifia yang menawarkan kopi pada pria di sampingku. Entah kapan perempuan itu hadir. Aku terlalu larut dalam lamunan sejak tadi.
"A- Alifia."
Tak sadar aku memanggil perempuan yang sedang menyeduhkan air panas ke dalam gelas plastik. Setelah menyerahkan kopi dan menerima uang, Alifa melirik ke arahku. Dia tersenyum, tidak berusaha menghindar namun juga ...tidak ada riak apapun di matanya. Sepertinya pertemuan sore kemarin tidak menorehkan apapun di hatinya
" Mas Dipta mau kopi juga?"
Tuhan, itu pertanyaan yang sama buat semua orang yang meminum kopi bikinannya. Tidak ada yang istimewa dalam nada suaranya. Bahkan dia tidak kepo dan tertarik tentang keberadaan ku di alun- alun ini.
"Aku mau kopi." Aku tersenyum kecut. Semenjak Alifia pergi, aku bukan lagi penyuka kopi sejati.
" Ini, Mas. Bayar dengan uang pas saja." Alifia menggeleng saat aku menyodorkan uang pecahan seratus ribuan.
Harum kopi yang menguar lembut berpadu dengan pipi merah Alifia yang kecapean. Pemandangan terindah yang aku dapatkan, semenjak pergi berlibur tiga hari yang lalu. Bahkan Roma di wajah Alifia mengalahkan indahnya rona kemerahan saat senja jatuh di hamparan sawah sepanjang jalan yang kukewati.
"Ambil saja. Tidak usah dikembalikan." Aku menjawab ragu. Betul dugaanku, Alifia menggeleng.
"Harga kopi ini hanya tiga ribu, Mas." Alifia tersenyum. Senyum yang hampir saja membuatku tersedak. Senyum yang masih sama indahnya dengan senyuman bertahun silam saat aku pertama berjumpa.
"Tapi aku ingin membayar lebih," kataku sedikit berdebar. Berharap Alifia mengangguk dan menerima uluran tanganku.
" Tidak usah membayar lebih, Mas. Saya penjual kopi profesional, saya hanya akan menjual sesuai harga."
" Tapi Alifia ..."
" Kenapa, Mas?" Alifia menatapku. Aku mendesah, tatapan Alifia begitu datar.
"Kamu pasti butuh uang ini. Buat beli seragam Afgan dan mungkin juga banyak lagi kebutuhan." Kali ini aku mengambil amplop berisi uang yang kupersiapkan sebelum berangkat.
"Aku memang butuh uang untuk banyak hal. Tapi bukan dari tangan pria yang telah menuduh aku berzina." Suara Alifia bergetar.
"Aku mungkin wanita lemah dan bodoh di hadapanmu saat ini." Alifia mendesah lirih.
"Aku memang tidak punya apa- apa dan siapa- siapa. Tapi aku tidak akan menukar satu- satunya yang masih kupunya, harga diri. Ambil kembali uangmu, Mas. Saat kau menuduh aku berzina dan kamu menyangsikan tiga buah hatiku sebagai darah dagingmu, tak ada lagi ikatan diantara kita. Pun diantara dirimu dan ketiga anakku."
Alifa menyeka sudut matanya yang berkaca.
"Ini kembaliannya. Belajarlah untuk tidak mengasihaniku." Alifia bangkit seperti kemarin dia bergegas meninggalkanku.
"Alifia, tunggu." Aku mengejarnya. Kali ini aku tidak mau lagi kehilangan jejaknya
"Kenapa, Mas? Tak usah mengejarku, kau yang memutuskan aku untuk pergi. Kau juga kah yang memintaku menghilang dari hidupmu. Dan aku melakukannya."
" Tapi Alifia, aku ..." Tololnya aku yang hanya mampu menelan segala kegelisahanku. Mulutku mendadak kelu, saat tatapan dingin Alifia jatuh pada wajahku.
" Apa yang kau inginkan dariku ,Mas? Pengakuan? Pengakuan kalau aku pernah berzina?" Alifia tersenyum getir.
" Allah melarang memberikan sumpah palsu. Allah pun melarang manusia memberikan pengakuan palsu. Kalau yang kau inginkan aku merunduk mengakui segala yang kau tuduhkan dan minta maaf, sampai matipun kau tidak akan mendapatkannya." Alifia kini berbalik.
"Alifia tunggu." Aku meraih tangannya.
"Talakmu sudah jatuh lima tahun yang lalu. Aku tak halal lagi bagimu, permisi." Alifia menarik tangannya dengan wajah yang kemerahan.
Tuhan. Lututku rasanya kembali goyah, ingin aku mengejar dan menarik tubuh Alifia dalam dekapan,bertanya banyak hal tentang tabir yang tercipta antara aku dan hidupnya selama lima tahun berlalu, sayang dinding fitnah dan talak menjulang begitu tinggi, memisahkan aku dan Alifia begitu jauh.
"Mama....Mama kenapa berlari?"
Aku berdesir, tatapanku tumpah pada sosok bocah laki- laki kurus yang berdiri terpaku di hadapan aku dan Alifia.
"Mama, siapa dia?"