Alifia tidak menjawab pertanyaan putranya. Perempuan itu dengan cepat berlalu meninggalkanku yang lagi- lagi hanya bisa terpaku melihat Afgan yang ikut tergopoh mengikuti tubuh ibunya yang bergegas meninggalkan aku yang masih terpana.
"Mama. Aduh." Afgan tiba- tiba menghentikan langkahnya. Sendal jepitnya yang sudah tipis rupanya tidak cukup kuat dibawanya berjalan cepat. Afgan sekarang berjongkok dan memanggil ibunya, membuat Alifia mau tidak mau menghentikan langkah dan berbalik mendekati Afgan.
Selintas dia melirikku, tapi hanya sekilas. Wajah itu secepat kilat terlihat datar dan biasa saja. Sepertinya Alifia telah kehilangan seluruh rasanya padaku. Pria durjana yang bukan saja sudah menutup telinga saat dirinya membela diri bertahun silam, melainkan pria paling kejam karena telah merampas harga diri dan masa depannya. Aku menelan ludah, sakit sekali.
"Kenapa, Sayang?" Dengan sikap keibuan, Alifia berjongkok di sisi Afgan.
"Putus sandalnya, Ma." Afgan tampak gundah. Menatap Sandal jepit murah warna biru itu dengan perasaan sayang.
"Nanti di rumah Mama betulkan. Ayo, kita pulang." Alifia membelai rambut putranya. Meski samar aku melihat ada rona sedih dalam raut wajahnya.
"Afgan mau beli yang baru. Kemarin Mang Maman nawarin sandal baru buat Afgan." Afgan menunjuk deretan pedagang kaki lima di sebelah timur.
"Beli nanti kalau Mama sudah ada uang." Alifia tampak sedih. Tangannya berusaha membetulkan sendal jepit Afgan dengan mengganjalnya dengan peniti yang dia ambil dari hijab yang dikenakannya.
" Sudah, bisa. Ayok, kita pulang." Alifia tampak gembira saat menyodorkan sandal jepit Afgan yang sudah diberi peniti.
" Jalannya hati- hati, biar tidak putus lagi." Alifia mengingatkan.
" Tapi aku mau yang baru. Kata Mang Maman boleh kredit. Sehari dua ribu, potong saja dari uang jajan aku." Afgan bersikeras.
Alifia tampak sedikit bimbang. " Baiklah, nak. Ayo kita temui Mang Maman. Tapi janji ya, Afgan uangnya dipotong dua ribu." Alifia akhirnya mengalah. Berjalan sambil memegang tangan Afgan biar jalannya tidak grasa- grusu.
" Asyiiik." Afgan kegirangan. Bahkan dia lupa untuk kembali menanyakan keberadaan ku.
Aku berdiri mematung menyaksikan adegan Alifia yang menuntun Afgan yang berjalan riang menuju pedagang kaki lima yang menjual sendal- sendal murah. Alifia bahkan tidak menengok ke arahku yang berdiri mematung dengan mata berkaca.
Alifia tidak mencaciku, tapi cara dia yang menganggap aku seolah tidak ada, sungguh tamparan paling keras dalam hidupku. Aku memalingkan wajah ke arah lain, menyembunyikan air mata yang tidak lagi sanggup aku tahan.
Lima tahun, rupanya waktu yang lebih dari cukup buat Alifia menghapus jejak diriku dalam hatinya.
Siulan Afgan terdengar nyaring. Dia asyik memilih sendal yang menurutnya bagus. Sementara Alifia memilihkan satu pasang lagi buat Raizan.
"Jadi berapa, Mang?"
"Harusnya enam puluh, tapi Teh Alifia bayar tiga puluh ribu saja. Satunya lagi, Mamang kasih buat Afgan, hitung- hitung hadiah khatam Quran." Pria yang dipanggil Mang Maman tersenyum, menyerahkan kresek warna hitam berisi dua pasang sandal milik Afgan dan Raizan.
"Beneran, Mang?" Afgan terlihat kegirangan.
"Leres atuh , Gan. Biar pinter ngajinya. Biar bisa ngebahagiaun Mamah." Mang Maman mengelus kepala Afgan. Sikapnya tulus dan tidak dibuat- buat.
" Mang, aku juga sudah mau
hafal sepuluh juz." Afgan memberikan laporan. Wajahnya tampak berbinar.
"Waduh, hebat atuh. Mamang kasih hadiah satu lagi. Sok ambil, mana yang Afgan suka." Mang Maman tersenyum. Sepertinya mereka sudah cukup lama kenal, sama- sama hidup di jalan untuk mengais rezeki, membuat mereka sepertinya begitu dekat.
" Tidak usah, Mang. Satu saja cukup." Afgan menggeleng.
" Cukup, Mang. Ini sudah lebih dari cukup, makasih Mang." Alifia tampak terharu.
" Enggak apa- apa, Teh. Selain dituntut, anak juga harus diberi hadiah. Mamang mah, boro- boro hafal sepuluh Juzz, kalau solat juga bacaannya yang pendek- pendek." Mang Maman menasihati sambil tersenyum.
"Afgan ngaji yang rajin. Sekolah juga yang pintar, biar jadi orang. Nanti kalau sudah besar, biar bisa bantuin Mamah jagain adek- adek."
Nyut.
Dadaku terasa ngilu. Harusnya aku yang mengatakan itu pada Afgan anakku. Harusnya tangan ini yang mengulurkan hadiah buat keberhasilan Afgan. Harusnya aku yang yang hadir membersamai Alifia dan Afgan, bukan mereka, bukan seorang Mang Maman yang aku yakin, mungkin hanya untuk mencukupi kebutuhannya sekeluarga pun masih pas- Pasan kalau gak dibilang seret.
"Denger kata Mamang, Gan. Harus rajin ngaji dan sekolah." Alifia menimpali.
" Iya, Afgan janji. Afgan mau cepat besar dan jadi orang sukses." Afgan berjanji , kulihat Mang Maman manggut- manggut bangga. Harusnya aku yang bangga. Sayangnya, apalah artinya hadirku bagi mereka. Setelah lima tahun jadi ayah yang tidak bertanggung jawab, apakah pantas aku masih merasa memiliki?
"Mang, yang ini, dicicil, ya."
"Gampang, Teh." Mang Maman tersenyum. Membiarkan Alifia dan Afgan yang segera berlalu di hadapannya.
Aku segera menarik tubuhku agar tak menghalangi langkah Afgan yang tampak begitu girang memeluk kresek hitam berisi sendal barunya. Aku menatap Afgan berlari girang. Meski Alifia mengajaknya pergi dari alun- alun tapi bocah itu tidak mau, malah berlari mengitari alun- alun dengan sandal baru. Sandal baru yang bahkan tidak lebih mahal dari harga sekantung Pempers Yuna.
Aku merintih. Ada yang berdarah di sudut jiwaku. Bahkan, untuk barang semurah itu Alifia harus mencicil sehari dua ribu. Gusti Allah ...harusnya aku yang mencukupi kebutuhan Alifia dan anak- anakku. Harusnya aku siuman sebelum luka di hati Alifia begitu dalam.
Mataku lekat menatap bocah yang kini tengah berlari riang, sementara aku melihat Alifia di sudut barat tengah melayani pembeli kopinya. Alifia tampak begitu tenang, bahkan dia tidak perduli kalau aku berdiri tidak begitu jauh darinya.
"Afgan." Aku tak kuasa lagi menahan diri. Aku mendekati bocah yang tampak keheranan menatapku. Kupandangi wajah polos Afgan dengan dada berdenyut sakit, menahan sedih dan rindu. Bagaimana mungkin aku pernah mengatakan dia, bukan darah dagingku. Wajah itu, wajah yang sama dengan wajah yang kumiliki.
"Afgan...lihat." Aku kembali memanggilnya. Berharap ada sekelumit memori yang dia miliki tentang aku, papanya.
"Kamu masih ingat, siapa pria di hadapanmu?" Tanyaku hati- hati bercampur gelisah.
" Tidak." Seperti dugaanku, Afgan menggeleng. Mungkin kerasnya hidup membuat bayanganku hilang dalam memorinya.
"Bapak, mau saya semirkan sepatu?"
Aku lagi- lagi tercekat. Setelah mendapati Alifia menjadi penjual kopi asongan, kini mendapati putraku menjadi seorang penjual jasa semir sepatu.
"Kalau, Bapak mau, saya ambil kotak semir dulu."
" Bu- bukan. Aku tidak pakai sepatu kulit." Aku menunjuk sepatu sport mahalku. Kulihat Afgan sedikit kecewa, dia pikir akan memiliki orderan semir, biar bisa dapat uang.
"Tidak apa- apa. Saya permisi."
" Tunggu." Aku meraih tangan putraku yang kurus. Dadaku membuncah, ada perasan rindu yang menggelegar laksana air bah.
" Aku tidak akan menyemirkan sepatu, Nak. Tapi aku punya sesuatu untukmu."
" Maksudnya?" Afgan terlihat kebingungan.
" Aku punya uang untukmu. Ambilah." Aku menyerahkan amplop yang sengaja kusiapkan untuk Alifia.
Afgan tampak kebingungan tapi aku meraih tangan kurusnya. Kuletakan amplop di tangannya
"Nak, uang ini untukmu. Ambilah..." Aku membukakan amplop dan menyuruh Afgan melihatnya, seketika wajah polosnya memucat.
" Ba-anyak, sekali..." Afgan gemetar.
" Semua itu buatmu. Ambilah, Nak. Aku mohon." Aku menghiba. Afgan tampak kebingungan. Karena terus kupaksa ragu tangan itu terulur mengambil amplop yang kusodorkan.
" Tidak."
Aku terkejut. Alifia sudah berdiri di depanku dan Afgan.
" Sayang..." Alifia menatap putranya. "Kembalikan uang itu."
" Tapi Ma, Bapak ini memberikan nya untukku." Afgan kebingungan.
" Tidak, Nak. Kamu tidak boleh menerima apapun sebagai bentuk rasa kasihan. Kamu laki- laki, Nak. Kamu hanya boleh menerima apapun sebagai bentuk kemuliaan dan tanggung jawab." Suara Alifia terdengar tegas. Kini dia bangkit menyerahkan amplop yang kuberikan.
"Berteriak lah, kalau aku wanita angkuh seperti ucapmu lima tahun silam." Alifa tersenyum getir.
"Anakku tidak akan menerima apapun sebagai bentuk rasa kasihan. Dia pria sejati, dia harus mendapatkannya dengan kerja keras dan cara yang mulia."
Aku lagi- lagi tercekat. Pria sejati? Ya pria sejati adalah pria bertanggung jawab dan tidak pantas dikasihani. Pria sejati adalah pria terbaik yang pantas dibanggakan. Sayangnya, pria sejati itu bukan aku. Bukan Dipta Raditya . Pria sejati itu telah lama mati seiring kisah cintaku dengan Alifia yang kandas oleh ketolanku sendiri.
Alifia memeluk Afgan. Lembut dituntunnya bocah yang tampak keheranan.
"Jangan pernah mendatangiku lagi dengan rasa kasihan." Suara Alifia terdengar tajam.
"Anakku bukan pria lemah. Anakku tidak butuh rasa kasihan darimu, anakku akan mendapatkan keinginannya dengan cara yang mulia. Permisi."
Ya Allah...lagi- lagi Alifia kembali berlalu tanpa mampu kutahan, mataku berkaca. Menyadari kalau kehadiranku sama sekali tidak berarti.
Langit di atasku mulai sedikit panas. Aku mengambil gawai dari saku jaketku.
"Mbak, aku mau bicara. Aku ingin foto dan bukti- bukti pegkhianatan Alifia lima tahun yang lalu." Suaraku tegas dan dingin.
"Fo- foto dan bukti pengkhianatan Alifia?" Kudengar suara Mbak Nindi gemetar.