🐰 HAPPY READING 🐰
* Tangan lembut menggenggam erat
Peluk teduh membasuh luka
Setitik cercah mengukir lukisan tersirat
Membuka tabir dalam kemelut jiwa *
"Siang, pak Zen, terhormat," sapa pak Dadang.
Betapa terkejutnya papa Zen melihat wajah Dadang. Wajah yang sepertinya tak asing buatnya. Namun otaknya tak mampu mengingat siapa sosok pria yang berdiri di hadapannya.
"Siapa kamu!" ketus papa Zen.
"Tak perlu emosi dan tak perlu tegang, percuma kau tajamkan tatapan sinismu."
Papa Zen menghela napas menahan emosinya. "Silahkan duduk."
Pak Dadang tersenyum sambil menarik kursi dan menaruh bokongnya.
"Bagaimana, pak? Sudah mempelajari berkas ajakan kami?" lirih pak Dadang.
"Kalian memang cerdik memanfaatkan keadaan ini," tukas papa Zen.
"Bukan kami yang cerdik. Tapi keadaan perusahaan bapak yang membuat kami tertarik." Pak Dadang dengan senyum sinis.
Papa Zen mengerutkan dahi dan mengepal tangannya seakan ingin menonjok muka pak Dadang.
"Santai saja, pak. Jangan tegang, entar bisa jantungan lho," ledek pak Dadang.
"Dengan menandatangani berkas ini, itu pertanda perusahaan saya berada dibawah kekuasaan anda, bagaimana saja harus bersikap santai, jawab, pak! Jawab!" Papa Zen penuh emosi.
"Yiaah, memang benar apa yang bapak ucapkan. Tapi sebagai laki-laki seharusnya bapak siap menanggung berbagai resiko untuk menyelamatkan orang tercinta dan anak bapak!" gertak pak Dadang.
"Apa maksud ucapanmu!"
"Mungkin bapak melupakan peristiwa puluhan tahun silam. Tapi semua itu masih teringat jelas di benak saya dan perlu bapak ingat! Apa yang saya lakukan belum seberapa dibanding penderitaannya," papar pak Dadang dengan penuh tegas.
Papa Zen terdiam bengong, pikirannya melayang tapi sedikitpun tak paham akan maksud pak Dadang.
"Wajahmu begitu polos Zen, seakan tak paham akan maksud ucapanku. Tapi tak apalah, penyesalan yang akan kau dapat. Oh ya! Besok karyawanku yang akan mengambil berkas itu," ucap Pak Dadang tersenyum sinis.
Papa Zen hanya bisa terduduk diam dalam kebingungan dan kegundahan. Ia tatap berkas didepan matanya. Tanpa disadari menetes airmata itu.
Maafin Zen, opa, aku gagal. Maafkan papa, anak-anakku. Membuat kalian menderita.
Bagai makan buah simalaka, apapun keputusan akan menghancurkan dirinya sendiri. Dia ingat akan nasib karyawan-karyawannya. Dari tenaga mereka ia bisa menghidupi anak istrinya.
Pandangan papa Zen menjadi kabur, badannya seperti terhuyung di lantai tak kuasa menahan beban yang ia alami. Berjalan tertatih sambil pegangan, sofa menjadi tempat tumpuannya.
Napasnya mulai lemah dan sesak.
"Paakk!"
Lelaki itu langsung menangkap tubuh pak Zen dan merebahkan diatas sofa.
"To-tolong, ambilkan berkas diatas meja," ucap papa Zen terbata-bata dengan napas tersengal-sengal.
"Ya, pak," dengan sigap karyawan itu mengambilnya.
Karyawan itu membantu papa Zen duduk dan menandatangi berkas itu.
Yiaah, dia adalah sekretaris kantor. Sengaja papa Zen mengambil sekretaris seorang laki-laki karena dia tak ingin menimbulkan salah paham dengan istrinya.
"To-tolong simpan berkas ini,"
Bruk! Tubuh pak Zen jatuh dari sofa.
"Pak! Pak! Bangun, pak!" teriak sekretaris itu panik.
Ia goyang-goyangkan tubuh pak Zen. Namun tak juga membuka matanya.
"Tolong! Tolong! Panggil ambulan," teriaknya bergema memenuhi seisi kantor.
Suasana menjadi kacau mendengar teriakan ambulan.
Dalam kepanikan seseorang berteriak, "Tolong, jangan ada yang kasih kabar dulu ke keluarga pak Zen, siapapun itu."
Papa Zen tergolong pemimpin yang bijak dan baik hati, tak segan-segan dia menolong karyawannya yang kesusahan.
Tak lama ambulan datang dan membawa tubuh papa Zen ke rumahsakit.
Dengan sigap dokter menangganinya. Hanya sekretaris dan beberapa karyawan yang menemani.
"Kalian disini dulu ya, aku telepon bu Sisi dulu," ucap sekretarisnya.
Kring-kring
"Halo selamat siang, bu,"
"Ya, ada apa?"
...........
...........
...........
"Apa! Bagaimana keadaan bapak sekarang!" jawab Bu Sisi panik.
"Lagi ditangani dokter, bu."
"Tunggu aku langsung kesana."
Mama Sisi langsung bergegas menuju ke rumahsakit. Panik, bingung dan cemas jadi satu. Pikirannya tak karu-karuan.
"Pak, cepetan dikit dong nyetirnya!" teriak mama Sisi panik
Pak sopir tak menjawab, ia tahu kegelisahan yang dirasakan nyonya nya. Bertahun-tahun pak Asep menjadi sopir beliau belum pernah ia dapati wajah bu Sisi begitu panik.
Bahkan disaat kepergian ayahnya, bu Lili masih bisa begitu tegar. Pak Asep mempercepat laju mobilnya menuju rumahsakit.
***
"Bagaimana keadaan, bapak?" Tanya Bu Sisi panik.
"Maaf, bu. Masih dalam penanganan dokter."
"Seserius itukah sampai berjam-jam dokter memeriksa!" kegelisahan begitu mendalam terpancar dari wajah bu Sisi.
Belum sempat sekretaris menjawab.
"Maaf, siapa keluarga pasien," tanya dokter yang keluar dari ruang UGD.
"Sa-saya, dok!"
"Anda?"
"Saya istrinya, bagaimana keadaan suamiku, dok? Dia baik-baik saja kan, dok. Dia ngak kenapa-napa kan, dok?" bertubu-tubi pertanyaan bu Sisi lontarkan.
"Ada anak atau saudara ibu yang dampingi, ngak?" tanya dokter.
Bu Sisi menggelengkan kepalanya.
"Saya, dok!" suara itu mengalihkan mata mereka.
"Amei! Papa, sayang, papa," pecahlah tangis mama Sisi.
Amei gadis manja dan ceria itu terlihat begitu tegar memeluk mamanya. "Papa ngak kenapa-napa, ma." ucapnya menenangkan mama Sisi.
"Begini, aliran darah menyumbat diparu-paru. Alhamdulillah tiba tepat waktu jadi nyawanya masih tertolong. Tapi maaf, pak Zen mengalami stroke yang menyerang dibagian kiri badannya."
"Tidaaak!" teriak mama Sisi menggemparkan ruang UGD.
"Maa! Mama ngak boleh lemah, papa masih hidup, ma!" tegas Amei.
"Papa kamu stroke, Mei. Siapa yang akan mengurus perusahaan. Kakak kamu kuliah ngak lulus-lulus." Mama Sisi lemas tak berdaya.
"Amei yang akan ngurus, ma. Kita lihat papa dulu, ma."
Mama Sisi dan Amei berlari menghampiri papa Zen.
"Paa, kenapa papa bisa sampai begini. Papa kenapa?" tanya mama Sisi dalam isak tangisnya.
"Pa-pa-papa,"
Amei menaruh tangannya di bibir papa Zen. "Papa yang tenang ya? Amei ada untuk papa."
Airmata papa Zen menetes membasahi pipi.
Kamu anak gadis namun jiwamu kuat melebihi kakakmu. Beruntungnya aku memiliki anak sepertimu.
"Papa istirahat dulu ya, mama juga jangan sedih. Amei ngurusi administrasi dulu ya." Amei meninggalkan papa mamanya.
Sementara diluar ruangan. Sekretaris masih setia menunggu.
"Dengan sekretaris papa, maaf siapa namanya?" tanya Amei.
"Firman hadi cahyono panggil saja Firman."
"Kak Firman bisa ceritain kejadiannya ngak? Kenapa tiba-tiba papa sakit."
"Beberapa terakhir ini keadaan perusahaan memang lagi ngak stabil mbak. Ada pihak lain yang secara tiba-tiba memegang sebagian besar saham perusahaan. Dan perusahaan kita hampir bisa dibilang bangkrut kalau tidak ditopang perusahaan itu. Tadi ada bapak-bapak yang datang meminta persetujuan atas kepemilikan perusahaan dengan nama perusahaan mereka." Firman menjelaskan.
"Perusahaan mana itu yang tiba-tiba bermain curang," tanya Amei penasaran.
"Trisada manpower," jawab Firman.
"Tapi bapak tadi sudah menandatangi sebelum beliau pingsan," timpal Firman.
"Shit! Kalian telah mengelabui papa ku." Amei menarik napas geram.
Bagaimanapun dia tak mengerti sedikitpun tentang seluk beluk perusahaaan. Ia bingung harus mulai terjun darimana. Sedang kakak yang mereka andalkan bener-bener mental tempe.
Kegundahan menyelimuti jiwa Amei. Apakah ini pertanda awal kehancurannya, disaat ia mulai akan meraih yang jadi impiannya. Yiaah, sarjana hukum. Apakah hanya jadi gambaran dalam hidup Amei?
Hai, kak. Terimakasih sudah mau mampir ke cerita aku.
Jangan lupa vomen nya ya?
Karena aku tahu masih banyak salahnya.
Siang hari minum es teler
Jangan lupa bagi yang laper
Makasih sudah sudi mampir
Jangan lupa jejak dalam tengger
❤❤❤