Bab 2
Bab 2


Sudah hampir satu jam aku mengendarai sepeda motorku berkeliling tanpa tujuan, tak kuhiraukan sinar matahari yang menyengat, karena bingung tak tahu arah dan tujuan, tanpa kusadari, aku mengendarai sepeda  motorku hingga sampai ke sebuah  Wahana Bermain.

Beberapa pedagang sibuk menata barang dagangan mereka di depan pintu masuk utama wahana ini, aku mengambil selembar tisu dari dalam tasku, keringat telah membasahi wajah saat kulepas helm yang kupakai.

Tak apalah, mungkin memang saat ini aku butuh tempat rekreasi untuk membuang jauh rasa kesal dan amarahku pada Pak Rhaka.

Kutepikan motorku saat tiba di pintu masuk wahana ini, saat tanganku baru saja merogoh uang yang ada disaku jaket, membayar tiket masuk ke wahana ini, tiba tiba ponselku berdering, layar benda pipih itu memunculkan nama Clara.

Aku bingung, tak biasanya Clara meneleponku siang siang begini, biasanya ia akan meneleponku di  malam hari itupun hanya untuk mendengarkan curhatan recehnya.

Aku memutuskan untuk  menerima telepon dari Clara, angin sesekali berhembus sedikit menyejukkan tubuhku yang panas terkena sinar matahari ini, tanpa salam, suara Clara langsung menusuk ditelingaku, begitu sambungan teleponnya kuterima.

{Hei Kinara, kau di mana?  kutunggu dirumah cepat.}

Setelah mengucap kalimat sihir itu. Ia langsung memutus sambungan teleponnya, kucoba menghubunginya kembali, namun tak tersambung, wanita menyebalkan itu telah mematikan ponselnya.

Ada hal penting apa hingga Clara sampai meneleponku seperti ini?

Aku mengenal baik dirinya, kami telah berteman sejak masih SMA, aku hapal kebiasaannya, ia akan bertingkah menyebalkan seperti ini, hingga aku datang menemuinya. Lalu sekarang apa yang terjadi?

Apa aku membuat kesalahan, hingga membuatnya marah dan  kesal padaku? aneh, rasanya aku tidak melakukan kesalahan apapun padanya.

Ups ... apa karena aku lupa membelikannya Empek Empek Palembang yang kemarin? huh, wanita hamil memang aneh aneh permintaannya.

Baiklah, akan turuti kemauan si markonah itu kali ini, jangan sampai ia membuat hariku semakin hancur. Awas saja, karena saat ini aku sedang kesal. Akhirnya, kuubah tujuanku, tak jadi masuk kedalam wahana ini, berputar menuju rumah Clara.


****


"Oh, jadi Pak Rhaka sampai harus  menghubungimu, agar  membujukku menikahinya."

"Kau gila Clara," sungutku kesal, setelah ia menceritakan tujuannya mengundangku datang  kerumahnya.

"Cobalah dipertimbangkan lagi Nara, aku tak enak jika menolak keinginan Pak Rhaka," ucap Clara dengan wajah yang dibuat memohon.

"Aku tahu aku tidak punya pacar, tapi aku masih punya harga diri Clara, " ketusku.

"Kau pikir aku kucing betina yang langsung goyang goyang ekor, mengeong manja begitu liat pejantan tangguh," sindirku.

"Jangan coba meminta hal yang tidak bisa kulakukan Clara, apa kata bapak nanti jika aku melakukan pernikahan ini, kau sendiri tahu bukan, jika bapak sering sakit-sakitan sekarang, dan  kau ingin aku mengundang malaikat maut kerumah, untuk menjemput bapakku," ketusku sambil  melotot padanya, tanda protes.

"Lebih baik kau dengar saja dulu alasan Pak Rhaka meminta hal itu padamu," bujuk Clara lagi. Mataku semakin membulat tajam padanya.

"Sudahlah, aku tak mau membicarakan hal ini denganmu. Lagipula, itu urusan laki laki tak waras itu, kenapa harus melibatkan aku dalam masalahnya." 

"Lebih baik kau pikirkan saja bayimu. Kasihan bayimu, jika kau terlalu banyak berpikir," gerutuku sambil menjentikkan jari ke atas telinga Clara.

Mendengar perkataan ku, Clara menggelengkan kepalanya, ia menarik nafas panjang sambil  mengelus perut buncitnya.

"Pak Rhaka orang yang baik, Nara.
Kau hanya belum mengenalnya saja. Selama hampir lima tahun aku bekerja padanya, tak pernah sekalipun terlihat ia menggandeng seorang wanita ke kantor."

"Sejak kematian Bella, calon istrinya, ia berubah menjadi dingin dan tak terlihat ingin membuang waktu atau bersenang senang dengan wanita manapun," jelas Clara.

"Kau benar, Pak Rhaka memang  meneleponku tadi dan menceritakan alasan dibalik tindakan itu, kukatakan padanya akan lebih baik jika ia sendiri yang menjelaskan alasan sebenarnya kepadamu, Nara," lanjutnya lagi.

"Jadi kau ingin aku menerimanya, kukatakan padamu, tidak!" tegasku.

"Aku tidak memaksamu Nara, aku hanya minta padamu untuk mempertimbangkannya lagi."

Aku menggelengkan kepalaku saat mendengar penjelasan Clara, kurasa karena ia mulai stress memikirkan persalinannya hingga bersikap aneh seperti ini. Teman macam apa dia, tak ada saat kubutuhkan. Malah mendukung orang lain.

"Kurasa karena terlalu lama bergaul dengannya membuatmu tertular pikiran anehnya," cebikku kesal padanya.

"Setidaknya Pak Rhaka itu perfect, tampan, kaya, keren Lagi. Kurang apalagi? Uhmmm ... coba saja kalau aku belum menikah, sudah kuterima ajakannya tanpa berpikir lagi," bujuk Clara dengan raut wajah mirip orang di klinik kejiwaan, aku menggelengkan tegas.

Fix, si kompor meleduk ini sudah  ketumpahan bensin jadinya otaknya rusak.

"Hanya satu tahun saja, Nara," kali ini wajahnya serius mengatakan kalimat itu.

"Kau mulai tidak waras, Clara. Sama seperti Pak Rhaka." 

" Jika aku menerima permintaan tak masuk akal itu, bagaimana nantinya hidupku setelah pernikahan kontrak itu berakhir." 

" Bapak akan mendapat malu karena anak perawannya cepat menjanda, kau benar benar ingin aku mengundang malaikat maut kerumah, Clara," sungutku kesal kepada Clara.

Ia terdiam saat mendengar perkataan dariku. Aku menuangkan air kedalam gelas untuk menghilangkan dahaga sekaligus rasa kesal.

"Maafkan aku Nara, aku tak terpikir sampai kesana."

"Tak apa, aku mengerti kenapa kau ikut membujukku. Tapi kau kan sahabatku, bukankah seharusnya kau lebih membela dan mendukungku?" ucapku dengan mata melotot padanya.

" Iya, aku mengerti, aku tak akan ikut campur lagi urusanmu dan Pak Rhaka," akhirnya Ia mengalah, aku menarik sedikit sudut bibirku.

"Tapi ..."

"Apa?" potongku cepat.

" Setidaknya temui Pak Rhaka sekali saja ya, aku tak enak sudah berjanji padanya akan membuatmu mempertimbangkan kembali tawaran itu," ucapnya dengan seringai aneh dibibirnya.

"Kau memang menyebalkan,Clara" aku melemparnya dengan keripik kentang yang baru saja hendak masuk ke mulutku.

"Aku yakin, Nara. Pak Rhaka akan menemui lagi. Setidaknya tolong beri ia kesempatan untuk menjelaskan alasan dibalik tindaknnya itu ya, please," ucapnya dengan dibuat mata berkedip kedip.

" Tak perlu," ketusku. Mendapat respon seperti itu dariku refleks ia mengumpatku.

"Dasar keras kepala. Kau memang tak pernah berubah."

"Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang, daripada meneruskan obrolan tak berguna ini denganmu," sungutku sambil meraih tas dan kunci motorku.

Bersambung.