2. Panggil Andre Saja.

Laki-laki tampan itu masih menunggu. Aku meraba-raba ke dalam tas. Kukeluarkan dompet. Dan KTP itu ada di selipan bersama kartu-kartu yang lain. Kuserahkan benda kecil itu padanya. Ia menerina dengan senyum. Melihat padaku lalu mengamati kartu identitas itu, melihat padaku lagi… melihat kartu lagi. Sumoah aku deg-degan.


Lalu ia mengembalikan KTP-ku.


"Oke, kamu bisa bekerja mulai besok"


"Beneran?" 

"Beneran dong. Masak saya bohong."

Cepat aku memeriksa KTP. Di sana tertulis, status, belum kawin. Sepertinya semesta berpihak padaku. Aku terus saja lupa memperbarui KTP setelah menikah.


Aku melompat. 


Sashi kita tak akan kelaparan! Mama dapat kerja dan kita akan punya uang! Ujarku dalam hati. 


Laki-laki itu tertawa melihat kelakuanku. Ada lesung pipit di pipinya. Ganteng maksimal. Juga wangi. Tapi aku tak boleh tergoda. Aku hanya pura-pura perawan. Aku sudah jadi istrinya Mas Jol. Suamiku itu pasti punya alasan kenapa pergi.


"Saya Andre. Yang akan memantau pekerjaan kamu." Ia mengulurkan tangan. Mengajak salaman. Aku menerimanya. Telapak tangan itu besar dan terasa hangat. Sentuhan dari tangan, hangatnya menjalar hingga ke hati. Ampun! Ini bahaya. Aku nggak boleh kegatelan. 


"Terima kasih, Pak Andre," ujarku berusaha menetralkan detak jantung.


"Panggil Andre saja."


Andre saja. Panggilan itu malah membuat aku nyaman. Ya ampun Nora ingat anak di rumah! Aku berteriak memarahi diriku sendiri dalam hati.


"Oya, kamu butuh seragam. Temui Lina di bagian gudang. Dia akan menyiapkannya untukmu."


"Baik Pak. Eh Andre."


Aku menemui seorang wanita bernama Lina di bagian belakang toko. Wanita itu terlihat tak ramah. Dandanannya menor. Lipstik merah menyala, make up tebal. Baju yang terlihat sempit hingga membentuk tubuhnya yang memang bohai, juga rok yang terlalu pendek.


Murahan. Aku tak akan berpakaian serupa itu. Aku akan jadi kasir yang sopan dan terhormat.


Tapi, begitu aku menerima seragam bewarna ungu itu, aku mengerutkan kening. Ini seragam serupa yang dipakai Lina. Ukurannya pun terlalu kecil.


"Ada yang lebih besar, Mbak?" tanyaku dengan suara ramah. Jadi pegawai baru  tentu aku harus hati-hati bersikap.


"Ngga ada!" jawabnya ketus lalu meninggalkanku. Songong amit. 


Aku menatap seragam di tanganku tak berdaya. Ya Allah, gini amat pingin cari uang. Apa aku batalkan saja ya? Tapi gaji tiga juta itu lumayan. Aku butuh uang.


Dalam angkot yang membawaku pulang ke kontrakan, aku kembali coba menelepon Mas Jol. Tak tersambung.

Dia akan kembali. Aku tahu. Aku dan Sashi hanya perlu bertahan. Bertahan dan berusaha tetap hidup. Aku bisa saja kembali ke rumah orang tuaku. Tapi itu pilihan yang memalukan. Aku tak siap jika ibu dan ayah mengatakan hal-hal buruj tentang Mas Jol. Seperti... Kan sudah ibu bilang. Kamu sih bandel. Susah dinasehatin.


Ya sudahlah. Ini satu-satunya jalan sekarang.